Tafsir Surat Al-Qadar
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنْ الرَّحِيْمِ
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ
تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ
سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ
- Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar.
- Tahukah kamu apakah Lailatulqadar itu?
- Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan.
- Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.
- Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.
Sebagian besar ulama tafsir2 berpendapat, surat Al Qadr adalah Makkiyah (yang diturunkan sebelum hijrah). Adapun penamaan surat ini dengan Al Qadr, karena surat ini menerangkan keutamaan dan tingginya kedudukan Al Qur‘an, yang juga diturunkan pada malam yang sangat mulia. Dan dinamakan Lailatul Qadr, karena kedudukannya yang begitu agung dan mulia di sisi Allah.3 Oleh karenanya malam itu penuh dengan keberkahan. Allah berfirman:
إِنّآ أَنْزَلْنَٰهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَٰرَكَةٍ
(Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi). 4
Ibnu Katsir berkata,”(Malam yang diberkahi) itulah Lailatul Qadr, (yang terjadi) pada bulan Ramadhan, sebagaiman firman Allah Ta’ala
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ
(Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur‘an). 5
Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata: “Allah telah menurunkan Al Qur`an dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara langsung (sekaligus), kemudian menurunkannya kepada Rasulullah secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa(yang terjadi semasa hidupnya) selama dua puluh tiga tahun”.6
Adapun yang berkenaan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya) surat ini, maka tidak ada satupun riwayat shahihah yang bisa dijadikan hujjah ataupun dalil.7
At Tirmidzi pernah menyebutkan sebuah hadits yang masih erat kaitannya dengan sebab turunnya surat ini. Sengaja kami bawakan untuk menghapus persepsi buruk sebagian kaum muslimin8 terhadap sejarah pemerintahan Bani Umayah. Apabila keyakinan semacam ini dibiarkan, maka akan mengakibatkan cacatnya aqidah dan manhaj kaum Muslimin, karena mengandung celaan terhadap salah satu sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan masa pemerintahan Bani Umayah secara umum.
Di dalam Jami’nya9 , At Tirmidzi menyebutkan sebuah riwayat lemah dengan sanadnya dari Al Qasim bin Fadhl Al Huddani, dari Yusuf bin Sa’ad, ia berkata: “Seseorang berdiri menuju Al Hasan bin Ali setelah beliau membai’at Mu’awiyah, lalu berkata,’Engkau telah menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin’ atau ‘Wahai orang yang menghitamkan wajah-wajah kaum Mukminin!’, berkata (Al Hasan bin Ali): ‘Janganlah mencelaku rahimakallah. Sesungguhnya Nabi pernah diperlihatkan (keadaan) Bani Umayah di mimbarnya, dan hal itu membuatnya tidak senang, maka turunlah
إِنّآ أَعْطَيْنَٰكَ الْكَوْثَرَ
(Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak), Wahai Muhammad, yaitu sebuah sungai di Surga, dan (juga) turun (masa) yang akan dikuasai Bani Umayah sepeninggalmu wahai Muhammad’.”
Al Qasim berkata: “Maka kami hitung (masa khilafah Bani Umayah), dan (memang) tepat seribu bulan, tidak lebih atau kurang seharipun”.
Ibnu Katsir mengomentari hadits ini10 dan berkata: Dan Al Hakim, di dalam kitab Al Mustadrak-nya11 meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin. Dan Ath Thabari12 meriwayatkan dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari ‘Isa bin Mazin13, demikian katanya, dan hal ini mengakibatkan hadits ini menjadi mudhtharib14, wallahu a’lam. Maka hadits ini munkarun jiddan (sangat mungkar), (sehingga) Syaikh kami, Al Imam Al Hafizh Al Hujjah Abul Hajjaj Al Mizzi berkata: “Ini hadits munkar”.15
Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Al Qasim bin Fadhl Al Huddani bahwa ia telah menghitung masa kekuasaan Bani Umayah, lalu katanya ia dapatkan tepat seribu bulan tidak lebih dan tidak kurang seharipun, adalah tidak benar. Karena sesungguhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sudah berkuasa ketika Al Hasan bin Ali menyerahkan kuasa (dengan membai’atnya) pada tahun 40 H, dan seluruh kaum Muslimin membai’atnya pula, sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah (tahun jamaah).
Adapun kaum Muslimin di Syam dan tempat lainnya, (mereka) tetap berada di bawah naungan khilafah Bani Umayah. Tidak ada yang keluar (dari kekuasaan Bani Umayah), kecuali pada masa Abdullah bin Az Zubair berkuasa di Haramain dan Al Ahwaz dan sebagian wilayah di sekitarnya, selama kurang lebih sembilan tahun. Akan tetapi, pemerintahan Abdullah bin Az Zubair masih tetap di bawah khilafah Bani Umayah, sampai akhirnya datang peristiwa perebutan khilafah Bani Al Abbas pada tahun 132 H. Dengan demikian, masa kekhilafahan Bani Umayah ialah sembilan puluh dua tahun, yang berarti melebihi seribu bulan, karena seribu bulan sama dengan delapan puluh tiga tahun empat bulan.
(Demikianlah) seolah-olah Al Qasim bin Fadhl tidak menganggap penghitungan bilangan tahun kekuasaan Abdullah bin Az Zubair, sehingga apabila memang demikian, maka apa yang dikatakannya adalah benar. Wallahu a’lam.
Dan di antara hal-hal yang menunjukkan dha’ifnya hadits ini ialah, hadits ini dibawakan untuk melakukan celaan terhadap Daulah Bani Umayah. Jika yang dimaksud seperti itu, maka tentu tidak (perlu) dibawakan dengan konteks semacam ini! Karena sesungguhnya, mengutamakan Lailatul Qadr di atas masa kekuasaan Bani Umayah, (sama sekali) tidak menunjukkan adanya pencelaan terhadap masa kekuasaan mereka. Karena sesungguhnya, (sebagaimana sudah kita ketahui dari penjelasan di atas, Pen), Lailatul Qadr adalah malam yang sangat mulia. Dan surat yang mulia ini diturunkan dalam konteks memuliakan Lailatul Qadr. Maka bagaimana (mungkin bisa difahami) Lailatul Qadr dimuliakan dengan pengutamaannya di atas masa khilafah Bani Umayah yang tercela sebagaimana kandungan hadits tersebut?. Kemudian, adakah orang yang memahami, bahwa yang dimaksud dengan seribu bulan dalam ayat ini adalah masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan surat ini adalah Makkiyah? Bagaimana (mungkin) makna alfi syahrin (seribu bulan) dipalingkan kepada masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan lafazh ayat maupun maknanya, (sama sekali) tidak menunjukkan hal itu?! Lagi pula, mimbar Rasulullah (yang tercantum dalam hadits ini) baru dibuat di Madinah, (yaitu) setelah beberapa saat dari hijrahnya. Maka (jelaslah sudah), semuanya ini sebagai dalil (dan bukti) dha’if dan munkarnya hadits ini. Wallahu a’lam.”16
Pada ayat berikutnya Allah berfirman:
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ
(Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?).
Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata17: “Pengulangan pertanyaan ini adalah sebagai pengagungan, seperti (juga) firman Allah:
اَلْقَارِعَةُۙ ١ مَا الْقَارِعَةُ ۚ ٢ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْقَارِعَةُ ۗ ٣
(1) Hari Kiamat. (2) Apakah Hari Kiamat itu? (3) Tahukah kamu apakah Hari Kiamat itu?18
Kemudian Allah berfirman:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ
(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).
Ada sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini, di antaranya ialah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ، قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ : (( قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، اِفْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ، فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهُا فَقَدْ حُرِمَ)).
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Tatkala tiba bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda: “Telah datang pada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah memerintahkan kalian untuk berpuasa padanya. Pada bulan itu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan setan-setan diikat. Pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Barangsiapa yang terhalang dari kemuliaan (keutamaannya), sungguh dia telah terhalang”. 19
Ath Thabari dan Ibnu Katsir berkata:20 Sufyan Ats Tsauri berkata: “Telah sampai kepadaku perkataan Mujahid لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ , ia berkata,’Amalan, puasa, dan shalat pada malam itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan (seseorang melakukan ibadah, Pen)’.”
Adapun maksud para ulama tafsir, bahwa ibadah pada malam Lailatul Qadr lebih utama dari ibadah selama seribu bulan, yaitu (seribu bulan) yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr.21
Syaikh Al Albani berkata: “Dan di antara masa, ada yang telah Allah jadikan seluruh amalan baikpadanya lebih utama (dari waktu-waktu selainnya), seperti pada sepuluh Dzulhijjah dan malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu seluruh amalan pada malam itu lebih utama (baik) dari amalan selama seribu bulan tanpa Lailatul Qadr di dalamnya”.22
Kemudian pada ayat berikutnya Allah berfirman:
تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ
(Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan idzin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan).
Sebagian besar ulama menafsirkan ( الروح ) adalah Jibril, dan sebagian yang lain menafsirkan dengan jenis malaikat lainnya.23
Dan firman Allah بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ , maksudnya ialah, mereka (para malaikat) turun dengan idzin Rabb mereka, dengan segala sesuatu yang telah Allah tentukan pada tahun itu, dari masalah rezeki, ajal, dan perkara lainnya.24
Lalu di akhir surat Al Qadr ini, Allah berfirman:
سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ
(Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).
Maksudnya ialah, pada malam Lailatu Qadr penuh dengan kebaikan dan keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya.
Demikian ini adalah perkataan sebagian besar ulama, seperti Mujahid, Nafi’, Qatadah, Ibnu Zaid, Abdurrahman bin Abi Laila, dan lain-lainnya.25 Adapun menurut Asy Sya’bi, dia berpendapat, pada malam itu para malaikat memberikan ucapan salam kepada para penghuni masjid-masjid (yang beribadah di dalamnya) sampai terbit fajar.26
Lalu, hal-hal apa sajakah yang berkaitan dengan Lailatul Qadr?.
Insya Allah, bersambung pada edisi selanjutnya ….
Footnote:
1) “Malam kemuliaan” dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam “Lailatul Qadr” yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Alquran. (Lihat Alquran dan terjemahnya).
2) Seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari (Tafsir Ath-Thabari: 30/312), Ibnu Katsir (Tafsir Alquran Al-‘Azhim: 8/441), As-Suyuthi (Ad-Durr Al-Mantsur: 8/567), As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman: 2/1184), dan yang lain-lainnya. Adapun Al-Qurthubi, maka beliau berpendapat bahwa Surat Al-Qadr adalah madaniyah (Al-Jami’ Li Ahkami Alquran: 20/120).
3) Taisir Al-Karim Ar-Rahman: 2/1184) dengan ringkas. Dan Al-Qurthubi telah membawakan beberapa perkataan ulama yang berkaitan dengan sebab penamaan malam itu dengan Lailatul Qadr (Lihat Al-Jami’ Li Ahkami Alquran: 20/120-121). Demikian pula Asy-Syinqithi (Lihat Adhwa’ Al-Bayan 9/34).
4) Ad-Dukhaan: 3.
5) Al-Baqarah: 185.
6) Tafsir Alquran Al-‘Azhim (8/441).
7) Ath-Thabari di dalam tafsirnya (30/314) membawakan atsar Mujahid yang mursal (yang tidak ada/tidak diketahui perawinya antara beliau dan Rasulullah) dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabbaah dari Mujahid yang maknanya: “Konon ada seorang dari Bani Israil yang melalukan qiyamul lail (shalat malam) hingga pagi, kemudian berjihad di siang harinya hingga sore hari, dan (dia) melakukan hal itu selama seribu bulan, maka Allah menurunkan ayat: اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ , (maka) menghidupkan malam (Lailatul Qadr) itu (dengan ibadah) lebih baik dari amalan seorang tersebut.”
Abdurrazzaq Al-Mahdi (muhaqqiq kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Quran:20/122) berkata (yang artinya): “Khabar ini waahin (lemah) .” Hal yang serupa juga telah dibawakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/442) dengan sedikit perbedaan lafazh, yang maknanya: “Nabi telah menyebutkan seorang dari Bani Israil yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan”, berkata (Mujahid): “Maka kaum Muslimin (para sahabat) terheran-heran kagum dari hal itu, maka Allahpun menurunkan:
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ٣
Satu malam (yang sama dengan) amalan orang yang (selalu) mengenakan persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan tersebut”.
Sami bin Muhammad As-Salamah (muhaqqiq kitab Tafsir Alquran Al-‘Azhim: 8/443) berkata: “Dan (juga) diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi di dalam tafsirnya, dan Al-Wahidi di dalam Asbabun Nuzul sebagaimana di dalam Takhrij Al-Kasyaf oleh Az-Zaila’i (4/253) dari jalan Muslim bin Khalid dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid secara mursal”.
Demikian pula atsar yang telah dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya (10/3452) dan Al-Qurtubi di dalam tafsirnya (20/122) dan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (8/443) dan As-Suyuthi di dalam tafsirnya (Ad-Durr Al-Mantsur: 8/568) dari jalan Maslamah bin ‘Ulay dari Ali bin ‘Urwah secara mursal yang maknanya: “Rasulullah (pada suatu hari) menyebutkan empat orang dari Bani Israil yang beribadah kepada Allah selama delapan puluh tahun, mereka tidak pernah bermaksiat sedikitrpun. Mereka adalah Ayyub, Zakariya, Hizqiil bin Al-‘Ajuuz, dan Yuusya’ bin Nuun”, Ali bin ‘Urwah berkata: “Maka para sahabat Rasulullah terheran-heran kagum dengan hal itu, maka Jibrilpun mendatanginya seraya berkata: “Umatmu telah terheran-heran kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun, mereka tidak pernah bermaksiat sedikitpun, sungguh Allah telah menurunkan sesuatu yang lebih baik dari itu, lantas Jibrilpun membacakan kepadanya:
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ (٣)
Ini (Lailatul Qadr) lebih baik dari apa yang membuatmu dan umatmu terheran-heran kagum.” Maka bergembiralah Rasulullah dan para sahabatnya.”
Abdurrazzaq Al-Mahdi (muhaqqiq kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Quran:20/122) berkata mengomentari atsar ini (yang artinya): “Dha’iifun jiddan (lemah sekali)…dari jalan Maslamah bin ‘Ulay dari Ali bin ‘Urwah secara mursal, dan bersamaan dengan itu, Maslamah bin ‘Ulay adalah (perawi) matruk (yang ditinggalkan haditsnya), dia adalah Al-Khusyani, demikian pula syaikhnya (Ali bin ‘Urwah) matruk, maka khabar ini lemah sekali tidak bisa dijadikan hujjah, dan (penghukuman) yang lebih tepat (terhadap) khabar ini adalah israiliyaat (khabar tentang Bani Israil yang tanpa dasar)”. Lihat pula biografi Maslamah bin ‘Ulay Al-Khusyani dan syaikhnya Ali bin ‘Urwah di Taqrib At-Tahdzib (hal: 701 & 943) karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
8) Yang terkontaminasi dengan sebagian akidah Syi’ah atau Rafidhah yang membenci Mu’awiyah bin Abi Sufyan atau bahkan membenci Bani Umayah secara umum, wallahul musta’an.
9) Jami’ At-Tirmidzi (5/445 no.3350).
10) Tafsir Al Quran Al-Azhim (8/441-442). Al Albani menghukumi hadits ini: “Sanadnya dha’if, mudhtharib, dan matannya munkar”. (Dhaif Sunan Tirmidzi)
11) Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain (3/186 no.4796).
12) Tafsir Ath-Thabari (30/314).
13) Abdurrazzaq Al-Mahdi (muhaqqiq kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Quran:20/123) berkata: “Ini (penamaan ‘Isa bin Mazin) adalah tashif (kesalahan dalam penamaan)”.
14) Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari jalan yang banyak dengan kekuatan yang sama, sehingga tidak mungkin untuk digabungkan atau ditarjih. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hal: 112). Dan hadits mudhtharib salah satu hadits yang dha’if (lemah).
15) Hadits munkar adalah hadits yang di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang fasiq, buruk hafalannya, dan banyak lalainya. Atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if dan dia menyelisihi riwayat perawi tsiqah (kuat). (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hal: 95).
16) Lihat pula Al Bidayah wa An Nihayah (6/243-244), beliau (Ibnu Katsir) pun membicarakan hadits ini dengan panjang lebar.
17) Di kitab tafsirnya Adhwa’ Al Bayan (9/34).
18) Al Qaari’ah: 1-3.
19) HR An Nasa’i (4/129), Ahmad (2/230,385 & 425).Hadits ini dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’ (no.55), Shahih Sunan An Nasa’i, Shahih At Targhib wa At Tarhib (1/ ), Tamaam Al Minnah (hal.395).
20) Tafsir Ath Thabari (30/314) dan Tafsir Al Quran Al Azhim (8/443).
21) Lihat Tafsir Ath Thabari (30/314-315), Al Jami’ Li Ahkamil Quran (20/121), Tafsir Al Quran Al Azhim (8/443), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
22) Ats Tsamru Al Mustathab (2/576).
23) Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Tafsir Al Quran Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/569), Al Jami’ Li Ahkamil Quran (20/123-124) dan Al Qurthubi juga membawakan beberapa penafsiran ulama lainnya,di antara mereka ada yang menafsirkan dengan balatentara Allah yang bukan malaikat, ada pula yang menafsirkan dengan makhluk besar, dan ada pula yang menafsirkan dengan rahmat yang turun bersama Jibril. Wallahu a’lam.
24) Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Quran (20/124) dan Al Qurthubi berkata bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas
25) Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Quran (20/1ó24) dan Al Qurthubi berkata bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas.
26) Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Quran (20/124), Tafsir Al Quran Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/568), dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/tafsir-surat-al-qadar/